4.34 a. m.
Menjadi
terkenal, bagi orang sepertiku, pasti menyenangkan, apalagi sebelumnya aku tak
pernah menjadi public figure. Namun,
pada hari ini aku dikenal karena berita yang tidak baik.
Entah apa yang
ada di benakku. Sehari sebelum kejadian, pada malam menjelang, tanpa kusadari
aku teringat akan peristiwa kematian. Kematian yang membawa perpisahan.
Ingatan itupun
tak pelak membuat sesak di tenggorokan. Ya, aku mengeluarkan isi lambung yang
sudah 6 jam diolah. Tak ada yang tersisa, hanya sakit dan air mata.
Keesokannya
berjalan seperti sebuah rutinitas dengan tambahan beberapa kejutan yang cukup
menguras tenaga dan pikiran. Rasanya seperti dihantam dan dihujam dengan batu
besar. Aku berusaha tetap tenang dan ingin semuanya cepat berlalu.
Bertemu dengan
orang yang kukenal dan kukasihi karena aku percaya dia dititipkan untuk sebuah
ujian ketulusan, itu tak sedikitpun menyurutkan kecemasanku. Bahkan “Kecemasan
yang penuh damai” tak lagi dalam genggaman dan aku melupakannya.
Sejak saat itu,
aku tak henti-hentinya ‘berpikir keras’, bagaimana bila ini.... bagaimana bila
itu... Dua hari setelah kejadian akhirnya telinga ini mendengar apa yang
kukhawatirkan. Aku menjadi ‘terkenal’. Semakin berat rasanya apalagi setelah
mengetahui bahwa bukan hanya satu, tetapi dua hal yang menjadi beban bagiku.
Aku akhirnya
menumpahkan sebuah titik yang tak kuinginkan saat itu. Terlalu lama bertahan
dan berusaha aku berdiri sendiri, namun batas ketahanan itu habis dan aku
menangis, sebab hari itu apa yang aku kerjakan tak ada yang benar, salah ini
dan salah itu. Ternyata aku tak mampu tegar dan konsisten di saat menjalani
pergumulan.
Hati kecil ini
ingin mendengar kata kesepakatan namun hati kecil yang paling dalam kuat untuk
menyatakan apa yang seharusnya. Lama bergumul dengan hati kecil dan hati yang
dalam membuat migrainku kambuh. Sakitnya lebih dari biasanya.
Begitu pulang,
hanya pembaringan yang kuinginkan. Berusaha menghilangkannya dengan memberi
kesempatan bagi otak untuk beristirahat. Berharap dia pergi dan hilang, namun
begitu terjaga tak ada yang berubah. Aku berusaha melakukan apapun dan mencari
kesibukan lain, masih dengan harapan yang sama.
Dalam hatiku
aku merasakan bahwa tak ada gunanya aku mencari ‘kesenangan’ dan penghiburan di
tempat lain. Aku akan mencarinya di tempat yang telah teruji oleh waktu, sebab
aku pernah mengalami dan melakukannya. Aku bangkit dan duduk. Aku mulai membuka
bacaan malam itu sekalipun waktu belum menunjukkan saatnya. Saat melihat judul
aku berpikir, mungkin ini bukan jawabah, namun tak ada salahnya. Baris demi
baris mulai menyentuh hati yang dalam. Bahkan lebih lagi saat aku melihat
pengantar, ya pengantar yang benar-benar mengantar aku untuk benar-benar
mengerti dan dipengaruhi olehnya.
Tempat itu
kusukai dan akhirnya aku sangat rindu melihat dari asalnya. Kembali aku membaca
dengan berulang-ulang, aku sangat menyukainya. Aku terenyuh sebab dia mengenal
aku dengan sangat benar dan real time.
Aku ingin mengulangnya lagi dan lagi, rasa sakit itu tak kunjung redam malah
semakin bertambah. Harapanku tetap kupertaruhkan di dalamnya. Sampai akhirnya
aku didatangi kembali oleh seseorang yang melihatku ‘terkenal’.
“Kenapa
merah?”. “Karena ini”. Saat dia konfirmasi apa yang dilihatnya dengan apa yang
kualami, aku mengiyakan semuanya. Ternyata beban itu bukan aku seorang yang
merasakannya, dia juga. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu dan didorong
oleh kerinduan yang sama, aku membacakan sepenggal apa yang baru saja kubaca.
Nyaris empat
jam from A to Z, kami menyudahi kisah
itu malam tadi. Kembali di pembaringan, aku masih tak habis pikir, sungguh dia
ada di dekatku. Dia menyaksikanku. Dia mengerti dan peduli. Aku kembali
membacanya di tempat yang kusukai dan aku mengeluarkan titik yang kuinginkan.
Titik yang menjadi alasan baginya untuk datang. Aku telah patah hati. Aku telah
membuat titik itu di pembaringanku, aku berharap dia mengusapnya bagiku.
Tak ada yang
mampu kukatakan. Lewat tulisan inilah aku mampu menceritakan pengalaman hebatku
dengannya. Dia bahkan telah menemaniku menuliskan ini semuanya.
Pagi ini
sungguh baru bagiku. Aku kembali mendapatkan kejutan yang aku pikir sudah
‘habis’ atau kejutan zonk. Ternyata
tidak. Aku memperoleh hadiah yang besar atas harapanku. Harapan itu nyata. Pagi
ini migrainku hilang dan tak ada lagi.
Sungguh dia
telah menjadi pengungsianku. Menjadi tempatku bersandar, bahkan aku sering kali
menjadikannya tempat yang terakhir, tempat terfavorit if I have no where to go.
Inilah Mazmur
yang menjadi kegiranganku:
(39-2) Pikirku:
"Aku hendak menjaga diri, supaya jangan aku berdosa dengan lidahku; aku
hendak menahan mulutku dengan kekang selama orang fasik masih ada di
depanku."
(39-3) Aku
kelu, aku diam, aku membisu, aku jauh dari hal yang baik; tetapi penderitaanku
makin berat.
(39-4) Hatiku
bergejolak dalam diriku, menyala seperti api, ketika aku berkeluh kesah; aku
berbicara dengan lidahku:
(39-5) "Ya
TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku
mengetahui betapa fananya aku!
(39-6) Sungguh,
hanya beberapa telempap* saja Kautentukan umurku; bagi-Mu hidupku seperti
sesuatu yang hampa. Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan! Sela
(39-7) Ia
hanyalah bayangan yang berlalu! Ia hanya mempeributkan yang sia-sia dan
menimbun, tetapi tidak tahu, siapa yang meraupnya nanti.
(39-8) Dan
sekarang, apakah yang kunanti-nantikan, ya Tuhan? Kepada-Mulah aku berharap.
(39-9)
Lepaskanlah aku dari segala pelanggaranku, jangan jadikan aku celaan orang
bebal!
(39-10) Aku
kelu, tidak kubuka mulutku, sebab Engkau sendirilah yang bertindak.
(39-11) Hindarkanlah
aku dari pada pukulan-Mu, aku remuk karena serangan tangan-Mu.
(39-12) Engkau
menghajar seseorang dengan hukuman karena kesalahannya, dan menghancurkan
keelokannya sama seperti gegat; sesungguhnya, setiap manusia adalah kesia-siaan
belaka. Sela
(39-13)
Dengarkanlah doaku, ya TUHAN, dan berilah telinga kepada teriakku minta tolong,
janganlah berdiam diri melihat air mataku! Sebab aku menumpang pada-Mu, aku
pendatang seperti semua nenek moyangku.
(39-14)
Alihkanlah pandangan-Mu dari padaku, supaya aku bersukacita sebelum aku pergi
dan tidak ada lagi!"
Aku telah
menjadi terkenal. Dia sangat mengenalku.
Aku menerimanya
Kasih, terima kasih :)
*Kelas Kata :: Kata Benda, Kata
Kerja
Keluarga Kata :: menelempap,
setelempap, telempap
Kata dalam TB :: 1x dalam 1
ayat (dalam PL: 1x dalam 1 ayat)
[KBBI] te=lem=pap n tapak tangan;
me=ne=lem=pap v mengukur dng
telempap;
se=te=lem=pap num selebar
atau seluas telapak tangan: lebarnya (tebalnya);
diberi sejari hendak ~, pb
orang yg diberi sedikit ingin lebih banyak lagi
(Sumber: SABDA)
October 3rd,
2014