4.49
a.m
Hari
ini aku kembali bermimpi sesuatu yang indah. Ini adalah mimpi indah ketiga yang
pernah aku alami. Sebenarnya ini mimpi kedua karena dua mimpi sebelumnya aku
alami di tidur yang sama dan juga telah banyak mimpi-mimpi indah lain yang
pernah aku alami. Mimpi yang pertama dan ketiga aku lupa apakah pernah
menuliskannya, namun aku pernah menceriterakannya. Hingga sekarang aku
mengingat mimpi itu dengan jelas.
Beginilah
mimpi yang ketiga ini (menurut urutannya). Aku berada di rumah namboruku,
tempat di mana aku dibesarkan dan mengenal ‘SaTe’ untuk pertama kalinya-waktu
itu aku sangat polos. Entah mungkin oleh karena pemberitaan gerhana matahari
yang akan terjadi 2 bulan setelah
penulisan cerita ini aku memimpikannya. Aku memiliki kakak kelas di IPB, satu
angkatan di atas saya, namanya Eko Sipraphua Sijabat, sebut saja Bang Eko atau
Eko, tapi bukan Pak Eko (pahe-paket hemat di salah satu rumah makan cepat
saji). Bang Eko ini menge-post thought-nya di Path tentang gerhana. Entah kenapa
hal ini memasuki alam bawah sadarku. Aku menyukai fenomena alam, khususnya
fenomena di cakrawala langit. Bahkan aku ingin sekali dapat melihat Aurora
Bourealis yang ada di Swedia. Aku tidak tahu apakah aku bisa menggapai
kerinduanku ini. Harapanku, aku bisa melihatnya sebelum aku mati nanti. Amin.
Kira-kira
malam jam 10-an kami sedang berada di teras depan dan aku menyadari melihat
sebuah bulan yang bersinar sangat terang. Malam ini pun sebelum jam tidur aku
melihat bulan begitu terang dan bersih. Ini adalah bulan yang sangat jernih
yang aku lihat semenjak kedatanganku ke kota hujan ini Agustus tahun lalu. Jadi
di dalam mimpiku pun terjadi hal yang sama. Namun tiba-tiba aku melihat sesuatu
yang gelap menutupi cahaya itu sehingga yang terbentuk adalah cincin bulan. Aku
sangat kecewa karena aku melihat bulan itu tertutup, namun aku juga senang
karena bisa menyaksikannya. Aku melihat kejadian itu bersama dengan sepupuku,
kami sungguh menikmatinya. Setelah beberapa lama saatnya, tetangga di depan
rumah juga turut keluar rumahnya untuk menyaksikan hal itu, akhirnya si bulan
sedikit terabaikan. Tiba-tiba keponakanku, anak sepupuku, menangis kenncang.
Sepupuku bilang supaya aku menutup pintu rumah karena fenomena gerhana
ini,begitu aku menyebutnya, menghasilkan sebuah suara yang tidak mengenakkan di
telinga anak bayi. Beberapa pandangan teralihkan oleh menutup pintu dan
tetangga.
Oleh
karena hal ini adalah langka, maka seperti di mimpi sebelumnya, aku sibuk
mencari kamera dan ingin mengabadikannya. Akhirnya aku memotret beberapa
pergeseran cincin, setelah itu aku mematikan kameranya dan hendak berbalik
masuk ke dalam rumah. Secara tiba-tiba, saat gerhana akan selesai, aku
mendengar suata dentuman, sungguh nyaring. Dentuman itu adalah suara kembang
api yang berasal dari gerhana itu. Jadi, ceritanya gerhana itu berubah menjadi
percikan kembang api yang sungguh indah. Aku tidak sempat berpikir “What’s
going on?” karena aku sungguh terpana. Begitu terperanjatnya aku sampai-sampai
aku lupa bahwa hal yang sangat baik ini sangat luar biasa jika kembali direkam
atau difoto. Oleh karena itu aku buru-buru ingin memotretnya. Saking tak mau
melewatkan fenomena lanjutan gerhana ini, aku tak jadi melakukannya. Perlu dicatat
bahwa kamera milikku sangat jadul, di mana untuk membuatnya berada pada posisi
“on” memakan waktu yang lumayan. Karena aku tau akan lama, sedangkan kembang
api itu hanya akan sebentar, alhasil tak ada yang aku lakukan selain terkesima
dengan apa yang ada di depan mataku, begitu indah, semarak, terang dan penuh warna.
Setelah mimpi itu aku terbangun.
Sekian
cerita mimpi itu.
Setelah
bangun dengan ingatan mimpi itu di memoriku, aku memulai ’SaTe’ku dengan berdoa
di pembaringanku. Judul hari ini “Kaki yang terkelupas dan Lutut yang luka”, sungguh
judul yang memilukan. Seusai membaca keseluruhan perenungan dan referensi yang
ada di sana, aku menemukan kalimat “pikul salib”. Salib diterjemahkan sebagai
banyak hal. Karena aku ingin lebih rinci akhirnya aku membuka “Sabda” (http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Salib) untuk mencari artinya. Tepat pada bacaanku ini, merujuk pada [Lambang],
salib memiliki arti: kadang-kadang sebagai METAFORA, segala pencobaan berat dan
menyakitkan, yang dijatuhkan Allah untuk menguji iman kita. Saat membaca ini
tanpa terasa aku menitikkan air mataku. Betapa Tuhan ingin mengingatkanku akan
sebuah perjalanan menuju “masa depanku”.
Salib
itu sering kali menyakitiku. Sama seperti Petrus yang mendambakan sukacita,
kebahagiaan dan kemahsyuran, aku pun mendambakannya, terutama di dalam
keluargaku. Bagiku, menjadi Kristen adalah sebuah pilihan yang membawa kita
pada salib yang menuju kemuliaan, sama seperti yang Kristus alami-hanya saja
kita tidak menanggung dosa, sebab semuanya telah selesai Dia kerjakan. Yang
kita tanggung sekarang adalah pergumulan yang menyangkut jiwa-jiwa dan menjadi
garam dan terang. Salib memimpin pada sebuah jalan hidup yang penuh rintangan,
namun melalui Ibrani 12:2 aku diingatkan bahwa Yesus mengabaikan kehinaanNya
dan Dia TEKUN memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagiNya. Entah
bagaimana caranya Yesus bisa menemukan sukacita pada salib yang sangat
membebaninya itu sementara aku berusaha
menghidarinya, bila perlu aku menolak salib itu. Sekarang aku telah mengetahui,
tidak hanya melalui kitab para nabi namun juga mengimani, Yesus kini berada di
takhta kemuliaanNya.
Ternyata apa yang kudambakan di atas, sama sekali tidak pernah dihalangi oleh Bapa. Bahkan Dia ingin sekali supaya aku bisa memperoleh dan memiliki semuanya itu, hanya saja hari ini Dia mengajarkanku bahwa aku bisa mendapat semuanya, bahkan lebih, yaitu duduk bersama-sama dengan AnakNya, jika dan hanya jika aku memikul salib yang telah ditentukan bagiku. Aku tidak boleh menyerah pada kenyataan hidup ini melainkan aku harus melaluinya bersama salibku itu. Aku tersadar bahwa selama ini aku berada pada hari-hari yang sulit karena aku menyerah pada salibNya. Sukacita itu bukan terletak pada salib, melainkan tujuan akhirku. Dahulu aku belajar bahwa Tuhan menginginkan aku dibentuk melalui proses, namun sekarang Dia telah mengingatkanku akan “Finish”, di sanalah terletak sukacita itu. Sama seperti seorang pelari yang melewati semua rintangannya demi kemenangan di akhir. Kini aku akan mencari dan memandang tujuan Allah, yakni “masa depan” melalui salibku hari demi hari hingga aku beroleh masa bersama Dia, muka dengan muka.
Ternyata apa yang kudambakan di atas, sama sekali tidak pernah dihalangi oleh Bapa. Bahkan Dia ingin sekali supaya aku bisa memperoleh dan memiliki semuanya itu, hanya saja hari ini Dia mengajarkanku bahwa aku bisa mendapat semuanya, bahkan lebih, yaitu duduk bersama-sama dengan AnakNya, jika dan hanya jika aku memikul salib yang telah ditentukan bagiku. Aku tidak boleh menyerah pada kenyataan hidup ini melainkan aku harus melaluinya bersama salibku itu. Aku tersadar bahwa selama ini aku berada pada hari-hari yang sulit karena aku menyerah pada salibNya. Sukacita itu bukan terletak pada salib, melainkan tujuan akhirku. Dahulu aku belajar bahwa Tuhan menginginkan aku dibentuk melalui proses, namun sekarang Dia telah mengingatkanku akan “Finish”, di sanalah terletak sukacita itu. Sama seperti seorang pelari yang melewati semua rintangannya demi kemenangan di akhir. Kini aku akan mencari dan memandang tujuan Allah, yakni “masa depan” melalui salibku hari demi hari hingga aku beroleh masa bersama Dia, muka dengan muka.
Mungkin
aku tidak akan melihat pelangi sehabis hujan, melainkan kembang api setelah
gerhana. J
January 23rd, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar